Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (PPA GKJ) merupakan dokumen resmi gerejawi yang disahkan dalam Sidang Sinode Terbatas tahun 1996. Sebagai sebuah ajaran, PPA GKJ merupakan sebuah dokumen gereja yang sangat penting karena PPA GKJ berisikan pengakuan tentang apa yang diimani gereja; ajaran yang diajarkan oleh gereja, dan pedoman bagi kehidupan gereja.[1] Sebelum memiliki PPA GKJ sebagai ajaran gereja, pada awalnya GKJ menggunakan Katekismus Heidelberg yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa sebagai Piwulang Agami Kristen sebagai ajaran gerejanya. Seiring berjalannya waktu, GKJ memahami bahwa ajaran gereja seharusnya dapat menjawab tantangan zaman yang dapat berubah dengan sangat cepat. Dengan demikian, dalam Sidang Sinode XVII tahun 1984 GKJ telah memulai untuk menyusun ajarannya sendiri
GKJ memahami bahwa konteks zaman selalu berubah dengan cepat. Apabila ajaran gereja juga dimaksudkan sebagai sebuah pedoman yang dapat menjawab tantangan zaman, maka ajaran gereja dapat ditinjau kembali dan dapat dilakukan perubahan.
GKJ memahami bahwa konteks zaman selalu berubah dengan cepat. Apabila ajaran gereja juga dimaksudkan sebagai sebuah pedoman yang dapat menjawab tantangan zaman, maka ajaran gereja dapat ditinjau kembali dan dapat dilakukan perubahan. Salah satu perubahan ajaran yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah ajaran gereja mengenai Perjamuan Kudus. Dalam PPA GKJ edisi 2019, Perjamuan Kudus dapat diikuti oleh warga anak. Wacana Perjamuan Kudus bagi anak (PKA) dalam PPA GKJ edisi 2019 tidak muncul begitu saja. Jauh sebelum adanya rencana perubahan poin pengajaran tentang Perjamuan Kudus mucul, beberapa gereja telah lebih dahulu melakukan pelayanan Perjamuan Kudus bagi anak-anak dan beberapa gereja lain sedang akan mempersiapkannya. Tentu tidak semua gereja telah memulai atau mempersiapkan PKA. Ada pula gereja yang tidak melakukan PKA. Karena saat itu, PPA GKJ edisi 2005 Bab 4 Pertanyaan-Jawaban 137 menyatakan bahwa Perjamuan Kudus hanya boleh diikuti oleh jemaat yang sudah baptis dewasa atau sudah mengaku percaya dan tidak sedang dalam penggembalaan khusus.[1] Akan tetapi, realitas bahwa setiap gereja lokal memiliki kebijakannya sendiri dalam melayankan Perjamuan Kudus dapat menjadi bukti bahwa setiap bagian dari GKJ senantiasa berefleksi dan beraksi di tengah konteksnya.[2] Selanjutnya, setelah melihat beberapa gereja telah memberikan pelayanan PKA dengan segala alasan dan pertimbangannya, maka dalam Sidang Sinode XXIV GKJ Tahun 2006 di Wirobrajan, LSP Sinode GKJ telah memulai seminar yang membahas tentang PKA.
Percakapan mengenai PKA terus dilanjutkan sampai kemudian diadakan Focus Discussion Group (FGD) tentang PKA pada tahun 2018. Berbekal kajian yang dilakukan oleh Tim PKA, hasil FGD, dan pandangan dari para pendeta (termasuk Pendeta Pelayan Khusus (PPK) dan Pendeta Emeritus) tentang pandangan teologis maupun praktis empiris dalam lingkup pelayanan mereka, maka Sidang Sinode XXVIII tahun 2019 memutuskan perubahan PPA GKJ.
Pertimbangan-pertimbangan Sinode GKJ menetapkan Perjamuan Kudus Anak
Dalam pertanyaan dan jawaban nomor 137 PPA GKJ edisi 2005 tentang sakramen disebutkan bahwa orang yang dapat ikut ambil bagian dalam sakramen perjamuan adalah setiap orang yang telah baptis dewasa, atau sudah mengaku percaya, dan tidak sedang dalam penggembalaan khusus.[1] Dengan demikian, anak-anak dilarang untuk ikut serta dalam Perjamuan Kudus. Pada umumnya Gereja Reform melarang keterlibatan anak dalam Perjamuan Kudus didasarkan pada ajaran Johannes Calvin yang menyatakan bahwa perjamuan hanya boleh diikuti oleh orang-orang dengan kematangan kognitif tertentu. Bagi Calvin, anak-anak belum memiliki kecerdasan ataupun kemampuan kognitif yang cukup, sehingga anak-anak belum dapat menyatakan iman kepercayaannya selayaknya orang dewasa.[2] Dasar pemikiran tersebut menjadi alasan Calvin melarang anak-anak ikut dalam meja Perjamuan Kudus. Oleh karena itu, GKJ meninjau kembali makna dari Sakramen dalam PPA GKJ supaya GKJ memiliki landasan untuk dapat melibatkan anak-anak dalam Perjamuan Kudus.
PPA GKJ edisi 2005 mendefinisikan sakramen sebagai “alat pelayanan yang dikhususkan di dalam pekerjaan penyelamatan Allah, yaitu sebagai penyataan dan pemeliharaan iman.”[3] Ada dua hal yang perlu dicermati yaitu “penyataan iman” dan “pemeliharaan iman”. Pertama, tentang penyataan iman. GKJ memang tidak menuliskan penjelasan lebih lanjut definisi tentang penyataan iman. Pdt. Eko Iswanto merujuk pada ajaran Agustinus tentang sakramen, yaitu sakramen bermakna sebagai “tanda dari sesuatu yang tidak kelihatan”. Dengan demikian PPA GKJ edisi 2005 memaknai “tanda dari sesuatu yang tidak kelihatan” itu sebagai alat untuk menyatakan sesuatu yang diimani. [4] Dalam tulisannya, Pdt. Eko Iswanto memberi pertanyaan sebagai bahan pertimbangan, yaitu: “Jika anak-anak tidak dilibatkan dalam sakramen Perjamuan, bagaimana konsep pengurbanan Kristus dalam karya penyelamatan dinyatakan kepada anak-anak?” Dengan demikian, justru ketika anak-anak dapat dilibatkan dalam sakramen perjamuan, konsep pengurbanan Kristus dalam karya penyelamatan dapat dinyatakan secara nyata kepada anak-anak.
Kedua, tentang pemeliharaan iman. PPA GKJ edisi 2005 memberi penjelasan tentang sakramen sebagai sarana pemeliharaan iman melalui roti dan anggur sebagai unsur dasarnya. Roti dan anggur menjadi lambang tubuh dan darah Kristus yang menunjukkan pada manusia akan penyaliban dan kematian Kristus; makan dan minum bersama yang melambangkan kehidupan keluarga Allah; dan sakramen perjamuan yang mengacu pada perjamuan yang sempurna di surga. Selanjutnya, PPA GKJ edisi 2005 memberikan kriteria tentang siapa saja yang dapat ikut serta dalam Perjamuan Kudus, yaitu seseorang yang sudah baptis dewasa, mengaku percaya, tidak sedang dalam penggembalaan khusus. Selain itu PPA GKJ edisi 2005 juga menambahkan bahwa sakramen bermakna hanya jika orang yang mengambil bagian dalam sakramen itu sungguh-sungguh beriman dan menyikapi sakramen dengan takut dan hormat. [5] Dengan demikian, bagaimana iman anak-anak dapat terpelihara jika mereka tidak diperbolehkan menerima sakramen perjamuan? Kata “takut” dan “hormat” sering kali dijadikan dasar untuk melarang keikutsertaan anak dalam Perjamuan Kudus. Anak dianggap belum matang secara keimanan karena belum dapat memahami sepenuhnya makna dari Perjamuan Kudus.[6]
Apabila kemampuan kognitif anak menjadi dasar untuk melarang anak untuk ikut serta dalam Perjamuan Kudus, maka GKJ juga merasa perlu untuk melihat penjelasan tentang teori perkembangan anak. Hal tersebut perlu dilakukan supaya dapat memahami lebih dalam tentang perkembangan kognitif anak. Perspektif dari teori perkembangan kognitif anak dipaparkan oleh Pdt. Hery Windarta yang merujuk pada teori Jean Piaget dan Vygotsky. Teori Jean Piaget menyebutkan bahwa anak-anak tidak memiliki kemampuan untuk melihat dunia seperti halnya orang dewasa melihatnya. Pada usia 0-2 tahun bayi masih belum dapat berpikir dan mereka hanya bereaksi dengan perilaku. Selanjutnya, pada usia 2-7 tahun anak-anak belum dapat mengerti hubungan antara sebab dan akibat. Melalui teori Piaget tersebut, dapat dipahami bahwa anak-anak memiliki kognisi yang berbeda dengan orang dewasa. Hal tersebut tidak berarti bahwa anak-anak tidak memiliki logika, melainkan anak memiliki caranya sendiri untuk dapat mengenal dunia. Anak-anak dapat mengembangkan pemikiran logisnya melalui interaksi yang mereka lakukan bersama dengan orang lain dan lingkungannya. Hal tersebut juga didukung dengan teori Vygotsky yang menjelaskan tentang pentingnya sistem sosial pada perkembangan kognisi anak. Orang-orang di sekitar anak, seperti orang tua, guru, dan teman dapat mengembangkan suatu pemahaman pada anak.[7] Dengan merujuk teori perkembangan anak, maka keterlibatan anak dalam Perjamuan Kudus justru semakin meneguhkan pemahaman anak tentang makna sakramen sebagai sarana pemeliharaan iman bagi anak-anak.
Selain pertimbangan-pertimbangan tersebut Tim Kajian PKA juga melihat adanya ruang untuk pelaksanaan PKA pada Tata Gereja dan Tata Laksana (TGTL) GKJ 2015. Dalam TGTL 2015 disebutkan bahwa penerima Perjamuan Kudus adalah setiap orang yang telah dibaptis.[8]
Dengan demikian, TGTL menyatakan bahwa GKJ memberikan ruang bagi terlaksananya Perjamuan Kudus yang melibatkan anak-anak.
Bedasarkan kajian dari Tim PK Anak, Sinode GKJ memutuskan untuk merevisi Pertanyaan-Jawaban nomor 137 tentang siapa saja yang dapat menerima sakramen perjamuan, demikian:
Pert : Siapa yang dapat menerima sakramen perjamuan?
Jwb : Yang dapat menerima sakramen perjamuan ialah:
-
Setiap orang yang sudah dibaptis, yang dipersiapkan dengan saksama oleh gereja untuk menyambut rahmat Allah.
-
Anak-anak keluarga Kristen yang sudah dibaptis pada saat masih kanak-kanak, sebab rahmat Allah berlaku untuk seluruh keluarga dan anak-anak juga mempunyai tempat dalam perjanjian keselamatan.[9]
Catatan kaki
[1] Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa Edisi 2005, 50
[2] Hery Windarta, Keikutsertaan Anak dalam Perjamuan Kudus: Tinjauan Teori Perkembangan Kognitif, Perkembangan Kepercayaan/Agama Anak, Pendidikan Kristiani, Ritus dan Liturgika, Budaya Jawa dan Pola Asuh Anak Jawa, 1
[3] Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa Edisi 2005, 47
[4] Eko Iswanto, Perjamuan Kudus: Sebuah Upaya Mencari Ruang bagi Keterlibatan Anak-Anak dalam Pelayanan Sakramen Perjamuan Kudus Menurut Dokumen-Dokumen Gerejawi Sinode GKJ, 5
[5] Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa Edisi 2005 pertanyaan nomor 135
[6]Eko Iswanto, Perjamuan Kudus: Sebuah Upaya Mencari Ruang bagi Keterlibatan Anak-Anak dalam Pelayanan Sakramen Perjamuan Kudus Menurut Dokumen-Dokumen Gerejawi Sinode GKJ, 6
[7] Hery Windarta, Keikutsertaan Anak dalam Perjamuan Kudus: Tinjauan Teori Perkembangan Kognitif, Perkembangan Kepercayaan/Agama Anak, Pendidikan Kristiani, Ritus dan Liturgika, Budaya Jawa dan Pola Asuh Anak Jawa, 2-3
[8] Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa, Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Jawa dilengkapi Pedoman-Pedoman Gereja Kristen Jawa, (Salatiga: Sinode GKJ, 2018), 141
[9] Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa Edisi 2019, 61-62.
[1] Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa Edisi 2005, (Salatiga: Sinode GKJ 2005), 50
[2] Perjamuan Kudus: Sebuah Upaya Mencari Ruang bagi Keterlibatan Anak-Anak dalam Pelayanan Sakramen Perjamuan Kudus Menurut Dokumen-Dokumen Gerejawi Sinode GKJ, 3
[1] Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa Edisi 2019, (Salatiga: Sinode GKJ, 2019), 17